Minggu, 30 Oktober 2011

Etika Bisnis Dalam Asuransi

ETIKA BISNIS
Nama : Mira Rosita
Npm :10208807
Kelas :4EA12

ETIKA BISNIS DALAM ASURANSI
Hukum asuransi syariah itu apakah sudah mufakat di antara ulama kehalalannya?
Isu asuransi ini memang termasuk isu yang mengundang perbedaan pendapat di antara para ulama, baik yang pro maupun kontra. Munculnya pendapat yang kontra antara lain disebabkan oleh sejumlah alasan. Yaitu, asuransi merupakan bisnis pertaruhan dan ketidakpastian. Apalagi jika dikaitkan dengan asuransi jiwa, dimana sebagian pihak berpendapat bahwa asuransi jiwa ini seolah-olah merupakan upaya untuk “menantang” takdir Allah. Bahkan di negara Barat, sudah banyak kasus terjadi, dimana ahli waris tega “mencelakakan” orangtua atau keluarga yang menjadi pemegang polis demi mendapatkan harta dari klaim asuransi. Akibatnya, sebagian ulama di Barat kemudian mengharamkan asuransi jiwa.

Namun demikian, semua sisi buruk tersebut dapat diatasi ketika “aturan main” asuransi ini disesuaikan dengan syariah. Menurut pendapat mayoritas / jumhur ulama, asuransi ini bukan bisnis pertaruhan dan ketidakpastian, melainkan salah satu cara untuk mempersiapkan masa depan, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam QS 59 : 18. Kemudian, asuransi ini juga dapat menjadi sarana untuk mempersiapkan generasi penerus yang lebih baik, dan bukan generasi penerus yang lemah dan tidak berdaya (QS 4 : 9). Sehingga, keikutsertaan kita pada asuransi pendidikan anak sebagai contoh, merupakan salah satu cara untuk menjamin keberlangsungan pendidikan generasi yang akan datang.
Selanjutnya, jenis transaksi yang dikembangkan asuransi syariah pun memiliki filosofi yang berbeda dengan asuransi konvensional. Pada konsep konvensional, premi yang dibayarkan kepada perusahaan, menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan tersebut bebas menginvestasikan dana premi dimana saja, tanpa mempedulikan halal dan haramnya. Sementara pada akad syariah, ada dua transaksi yang dikembangkan, yaitu tabarru’ (kebajikan) dan tijarah/bisnis melalui akad mudharabah (bagi hasil).
Pada akad tabarru’, para pemegang polis saling menghibahkan dananya untuk kepentingan bersama. Dana inilah yang nantinya diberikan kepada pemegang polis ketika “terjadi sesuatu” pada mereka. Filosofi yang dibangun disini adalah rasa kepedulian dan semangat tolong menolong, sebagaimana yang dinyatakan dalam QS 5 : 2. Sehingga, semangat persaudaraan sebagai satu tubuh yang kokoh akan terlihat disini, dimana apabila satu bagian sakit, yang lain pun akan turut merasakannya (HR Muslim dari Nu’man bin Basyir ra).
Selanjutnya pada akad mudharabah, hubungan antara pemegang polis dengan perusahaan adalah hubungan antara investor (rabbul maal, yaitu peserta asuransi) dengan pengelola dana (mudharib, yaitu perusahaan). Perusahaan berkewajiban untuk menginvestasikan dana pemegang polis pada sektor-sektor usaha yang halal dan thayyib. Setiap keuntungan yang diperoleh kemudian dibagikan berdasarkan nisbah bagi hasil yang telah disepakati.
Dengan konsep seperti ini, maka tidak perlu ada keraguan lagi tentang kehalalan produk asuransi syariah. Apalagi, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI telah mengeluarkan Fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, sebagai landasan syar’i dibolehkannya praktek asuransi syariah di tanah air. Wallahu a’lam. Standardisasi polis membuat industri asuransi syariah memiliki standar baku terhadap penulisan polis asuransi syariah. Direktur Utama Harahap Business Consulting, Hadry Harahap, mengatakan adanya kebakuan polis di asuransi syariah akan dapat memberikan penjelasan lebih detail kepada peserta asuransi.
Namun, ia menambahkan, setidaknya sebelum standardisasi tersebut digunakan dapat dibentuk suatu majelis atau tim untuk dimintai pendapatnya mengenai standardisasi polis itu. ”Jadi dibuat sebuah pertemuan dan di sana diundang ahli hukum positif maupun syariah, lalu para pelaku asuransi syariah dan salah satu representatif dari nasabah. Jadi memperoleh masukan secara komprehensif,” katanya, Selasa (22/6).
Dengan pembentukan tersebut, tambah dia, maka akan dapat diketahui perspektif masing-masing stakeholder asuransi syariah. Di lain pihak, tambah dia, walau standardisasi polis telah memasukkan terminologi syariah di dalamnya, agen pemasaran asuransi syariah tetap harus dapat menjelaskannya kepada peserta asuransi. Dengan demikian peserta akan terbantu dalam memahami ketentuan polis asuransi syariah.
Di sinilah, menurut Hadry, diperlukan agen asuransi syariah yang mumpuni dan memahami asuransi syariah. Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) tengah menyiapkan standardisasi polis asuransi syariah. Di antaranya adalah penyebutan penggunaan risk sharing dalam asuransi syariah, bukan risk transfer, penajaman penjelasan akad dalam polis, dan penyelesaian sengketa asuransi syariah.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates